Tanah Alas

Orang Alas di Tanah Alas pada 29 Juni 1904.

Tanah Alas (Alas: Tanoh Alas; Belanda: Alaslanden; disebut juga sebagai Lembah Alas[1]) adalah sebuah wilayah geografis dan geobudaya yang didiami oleh suku Alas yang berkerabat dengan suku Kluet dan rumpun Batak lainnya. Secara geografis, wilayah Tanah Alas meliputi Kabupaten Aceh Tenggara dan Kota Subulussalam di Provinsi Aceh.

Asal-usul

Nama Alas sendiri diyakini berasal dari kata "Alas" yang bermakna tikar atau landasan karena berbentuk lapangan yang sangat luas. Dalam sebuah hikayat, disebutkan bahwa Tanah Alas dulunya adalah sebuah danau besar, yang terbentuk pada masa kuarter. Secara faktual, hal ini dapat dilihat dari banyaknya nama desa atau daerah yang masih menggunakan kata pulo (pulau), ujung, dan tanjung. Contohnya seperti Pulo Piku, Pulonas, Pulo Kemiri, Pulo Gadung, Pulo Latong, Tanjung, Kuta Gerat, Kuta Ujung, dan Ujung Barat.[2]

Selain itu, di Tanah Alas juga ditemukan banyak kuburan yang berada di atas gunung, seperti kuburan Raja Dewa di atas gunung Lawe Sikap, kuburan Panglima Seridane di atas gunung Batu Bergoh, dan kuburan Panglima Panjang di atas gunung Panjang.[2]

Sejarah

Rumah sakit lapangan pada masa kolonial Belanda di Lawe Sagu.

Pada masa kolonial Belanda, sering terjadi pemberontakan di lembah Alas dan dataran tinggi Gayo Lues, dua wilayah ini juga yang menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Aceh Tenggara. Beberapa pertempuran besar pernah terjadi di Tanah Alas dan Gayo Lues, seperti pertempuran Likat dan pertempuran Kuta Reh.[2]

Pada awal tahun 1946, susunan pemerintahan di seluruh wilayah Aceh mulai dibenahi dengan mengelompokkan daerah-daerah yang berada di tengah Aceh, yakni Takengon, Gayo Lues, dan Tanah Alas ke dalam satu keluhakan yang disebut Keluhakan Aceh Tengah. Ibukota keluhakan direncanakan digilir setiap enam bulan antara Takengon, Blangkejeren, dan Kutacane. Jarak yang sangat jauh dan waktu tempuh yang sangat lama antara Kutacane ke Takengon (sekitar 250 km ditempuh dalam waktu 5-8 hari dengan jalan kaki) atau jika menggunakan kendaraan harus melalui Medan, Aceh Timur, dan Aceh Utara dengan menempuh jarak sekitar 850 km, menyebabkan pelaksanaan pemerintahan tidak berjalan efektif. Terlebih lagi pada tanggal 21 September 1953 meletus pemberontakan Aceh (Daud Beureueh), yang mendorong beberapa tokoh yang berasal dari Sumatera Utara mencoba memasukkan daerah Tanah Alas ke dalam wilayah Sumatera Utara. Namun upaya ini tidak mendapat dukungan dari rakyat di Tanah Alas.[2]

Pada tahun 1956, pemerintah pusat menyadari bahwa salah satu penyebab meletusnya pemberontakan Aceh adalah dileburnya Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara dan memutuskan untuk mengembalikan status provinsi kepada Aceh. Hal ini semakin mendorong pemimpin di Tanah Alas dan Gayo Lues untuk membentuk kabupaten sendiri, terlepas dari Kabupaten Aceh Tengah, hingga terbentuklah Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues.[2]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "Harmoni Lembah Alas Penjaga Leuser". aceh.tribunnews.com. Diakses tanggal 25 April 2023. 
  2. ^ a b c d e "Sejarah Aceh Tenggara". acehprov.go.id. Diakses tanggal 25 April 2023.